PARIS, MediaSulut.Com - Dimulai dari tendangan bebas akurat Angel Di Maria, sontekan manis Julian Draxler, dentuman kencang yang kembali dilepaskan Di Maria, dan ditutup dengan lesatan dingin Edinson Cavani, Paris Saint-Germain buat mimpi terliarnya jadi nyata!
Pada leg pertama babak 16 besar Liga Champions yang berlangsung tepat di hari Kasih Sayang, PSG sanggup menghancurkan Barcelona lewat skor telak 4-0.
Satu kaki Les Parisien pun layak disebut sudah ada di perempat-final, karena tak satu pun tim dalam sejarah Liga Champions yang mampu memutar balik situasi macam ini.
Padahal PSG memulai laga diiringi fakta bahwa mereka hanya sekali menang dan selalu kebobolan, dalam sembilan bentrok hadapi Barca. Sementara itu rekor pertemuan sang pelatih, Unai Emery, jauh lebih memprihatinkan. Dari 23 duel, sosok 45 tahun itu hanya mampu memetik sebiji kemenangan.
Namun segalanya lenyap dalam 90 menit pertandingan. PSG tampil sempurna untuk hadirkan Valentine berdarah buat Barca, yang tak miliki alibi atas performa kacaunya.
Tanda-tanda penderitaan Barca mulai hadir dari line-up aneh Luis Enrique, dalam formasi andalan 4-3-3. Ia secara mengejutkan menurunkan Andre Gomes di sisi kanan pos gelandang, alih-alih Ivan Rakitic.
Padahal sektor itu butuh perlindungan lebih, karena Sergi Roberto baru kembali berperan jadi bek kanan usai cedera horor Aleix Vidal. Kehadiran Rakitic dipandang lebih berguna lantaran miliki karakter defensif kuat, ketimbang Gomes yang fokus utamanya mengatur ritme permainan.
Selain itu keputusan menurunkan sang kapten, Andres Iniesta, sebagai starter juga jadi kesalahan lain. Pemain 32 tahun ini baru pulih dari cedera lutut, yang memaksanya absen selama tiga pekan dan lakoni comeback prematur selama 26 menit akhir pekan lalu.
Dalam laga ini tampak begitu jelas bahwa Iniesta tidak dalam bentuk terbaiknya. Ia sama sekali tak tunjukkan karakter agresifnya baik saat menyerang, maupun bertahan.
Bek kiri yang di-cover sang kapten, Jordi Alba, pun jadi kelimpungan melakukan transisi bertahan dan menyerang.
Emery melihat keriskanan itu dengan jeli. Ia lantas mengeksploitasi habis kedua sisi pertahanan Barca, lewat winger serta wingback lincahnya. Selain itu peran Blaise Matuidi sebagai gelandang box to box tak kalah krusial, untuk mendobrak lini tengah 'kalem' Azulgrana lewat perebutan bola yang spartan.
Sistemnya serangannya selalu sama. PSG menarik Barca yang lebih menguasai bola untuk lepas dari area pertahanannya, kemudian memenangkan perebutan bola untuk lancarkan serangan cepat melalui sayap.
Pelanggaran yang memicu gol tendangan bebas Di Maria, longgarnya sisi kiri pertahanan Barca untuk gol Draxler, serta kacaunya koordinasi lini pertahanan Los Cules saat coba membendung gol kedua Di Maria dan Cavani. Semua terjadi bukan lewat variasi serangan yang kaya.
Sistem itu pula yang membuat asupan bola ke lini depan Barca mati, karena aliran bola selalu putus di tengah jalan. Trio MSN pun tak mampu berkutik tanpa adanya sodoran bola yang lezat. Itulah mengapa mereka hanya mampu lepaskan sebiji tembakan tepat sasaran di partai ini. Perbaikan coba dilakukan Enrique dengan memasukkan Rafinha dan Rakitic, tapi semua sudah terlambat.
Satu masalah lain yang juga tampak adalah mentalitas juara Messi cs yang seakan lenyap. Setelah tertinggal 2-0 di babak pertama, fokus para pemain buyar hingga terus-menerus lakukan kesalahan yang sama. Satu situasi yang tak selayaknya terjadi untuk klub sekaliber Barcelona.
Menanggapi kekalahan besar ini, Enrique kemudian bijak berujar bahwa PSG memang unggul di segala aspek. Selain itu juru taktik berusia 46 tahun ini juga jantan mengakui bahwa dirinya salah dalam pendekatan taktik.
"Ini adalah malam yang buruk. PSG bermain lebih baik dalam segala hal. Skor pertandingan benar-benar merefleksikan perbedaan kualitas antara kedua tim. Jika Anda harus menunjuk orang untuk disalahkan, orang tersebut adalah saya," buka Enrique, seperti dikutip Marca.
"Saya salah, karena menurunkan pemain yang sama seperti ketika meraih kemenangan di kompetisi domestik. Kami kemudian mengubah formasi dari 4-3-3 ke 4-2-3-1 agar Messi bisa mendapat bola lebih banyak, tapi hasilnya tidak berubah. Kami memang pantas kalah dari PSG," pungkasnya.
Apakah ini jadi akhir kedigdayaan Barca di Eropa? Mungkin saja, karena seperti diterangkan sebelumnya bahwa tak ada tim yang bisa balikkan defisit empat gol di babak gugur, dalam sejarah Liga Champions. Tim Catalan kini nyata menatap pencapaian terburuk mereka di turnamen ini dalam sedekade terakhir, dengan tersingkir di babak 16 besar.
Namun seperti kata pepatah, "Bola itu bundar, apapun bisa terjadi". Masih ada 90 menit kedua di Camp Nou untuk Barca hadirkan keajaiban. Mampukah? Mari kita nantikan akhir ceritanya.
Penulis: Redaksi
Pada leg pertama babak 16 besar Liga Champions yang berlangsung tepat di hari Kasih Sayang, PSG sanggup menghancurkan Barcelona lewat skor telak 4-0.
Satu kaki Les Parisien pun layak disebut sudah ada di perempat-final, karena tak satu pun tim dalam sejarah Liga Champions yang mampu memutar balik situasi macam ini.
Padahal PSG memulai laga diiringi fakta bahwa mereka hanya sekali menang dan selalu kebobolan, dalam sembilan bentrok hadapi Barca. Sementara itu rekor pertemuan sang pelatih, Unai Emery, jauh lebih memprihatinkan. Dari 23 duel, sosok 45 tahun itu hanya mampu memetik sebiji kemenangan.
Namun segalanya lenyap dalam 90 menit pertandingan. PSG tampil sempurna untuk hadirkan Valentine berdarah buat Barca, yang tak miliki alibi atas performa kacaunya.
Tanda-tanda penderitaan Barca mulai hadir dari line-up aneh Luis Enrique, dalam formasi andalan 4-3-3. Ia secara mengejutkan menurunkan Andre Gomes di sisi kanan pos gelandang, alih-alih Ivan Rakitic.
Padahal sektor itu butuh perlindungan lebih, karena Sergi Roberto baru kembali berperan jadi bek kanan usai cedera horor Aleix Vidal. Kehadiran Rakitic dipandang lebih berguna lantaran miliki karakter defensif kuat, ketimbang Gomes yang fokus utamanya mengatur ritme permainan.
Selain itu keputusan menurunkan sang kapten, Andres Iniesta, sebagai starter juga jadi kesalahan lain. Pemain 32 tahun ini baru pulih dari cedera lutut, yang memaksanya absen selama tiga pekan dan lakoni comeback prematur selama 26 menit akhir pekan lalu.
Dalam laga ini tampak begitu jelas bahwa Iniesta tidak dalam bentuk terbaiknya. Ia sama sekali tak tunjukkan karakter agresifnya baik saat menyerang, maupun bertahan.
Bek kiri yang di-cover sang kapten, Jordi Alba, pun jadi kelimpungan melakukan transisi bertahan dan menyerang.
Emery melihat keriskanan itu dengan jeli. Ia lantas mengeksploitasi habis kedua sisi pertahanan Barca, lewat winger serta wingback lincahnya. Selain itu peran Blaise Matuidi sebagai gelandang box to box tak kalah krusial, untuk mendobrak lini tengah 'kalem' Azulgrana lewat perebutan bola yang spartan.
Sistemnya serangannya selalu sama. PSG menarik Barca yang lebih menguasai bola untuk lepas dari area pertahanannya, kemudian memenangkan perebutan bola untuk lancarkan serangan cepat melalui sayap.
Pelanggaran yang memicu gol tendangan bebas Di Maria, longgarnya sisi kiri pertahanan Barca untuk gol Draxler, serta kacaunya koordinasi lini pertahanan Los Cules saat coba membendung gol kedua Di Maria dan Cavani. Semua terjadi bukan lewat variasi serangan yang kaya.
Sistem itu pula yang membuat asupan bola ke lini depan Barca mati, karena aliran bola selalu putus di tengah jalan. Trio MSN pun tak mampu berkutik tanpa adanya sodoran bola yang lezat. Itulah mengapa mereka hanya mampu lepaskan sebiji tembakan tepat sasaran di partai ini. Perbaikan coba dilakukan Enrique dengan memasukkan Rafinha dan Rakitic, tapi semua sudah terlambat.
Satu masalah lain yang juga tampak adalah mentalitas juara Messi cs yang seakan lenyap. Setelah tertinggal 2-0 di babak pertama, fokus para pemain buyar hingga terus-menerus lakukan kesalahan yang sama. Satu situasi yang tak selayaknya terjadi untuk klub sekaliber Barcelona.
Menanggapi kekalahan besar ini, Enrique kemudian bijak berujar bahwa PSG memang unggul di segala aspek. Selain itu juru taktik berusia 46 tahun ini juga jantan mengakui bahwa dirinya salah dalam pendekatan taktik.
"Ini adalah malam yang buruk. PSG bermain lebih baik dalam segala hal. Skor pertandingan benar-benar merefleksikan perbedaan kualitas antara kedua tim. Jika Anda harus menunjuk orang untuk disalahkan, orang tersebut adalah saya," buka Enrique, seperti dikutip Marca.
"Saya salah, karena menurunkan pemain yang sama seperti ketika meraih kemenangan di kompetisi domestik. Kami kemudian mengubah formasi dari 4-3-3 ke 4-2-3-1 agar Messi bisa mendapat bola lebih banyak, tapi hasilnya tidak berubah. Kami memang pantas kalah dari PSG," pungkasnya.
Apakah ini jadi akhir kedigdayaan Barca di Eropa? Mungkin saja, karena seperti diterangkan sebelumnya bahwa tak ada tim yang bisa balikkan defisit empat gol di babak gugur, dalam sejarah Liga Champions. Tim Catalan kini nyata menatap pencapaian terburuk mereka di turnamen ini dalam sedekade terakhir, dengan tersingkir di babak 16 besar.
Namun seperti kata pepatah, "Bola itu bundar, apapun bisa terjadi". Masih ada 90 menit kedua di Camp Nou untuk Barca hadirkan keajaiban. Mampukah? Mari kita nantikan akhir ceritanya.
Penulis: Redaksi