MediaSulut.Com - Jakarta - Jumlah tenaga kerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga 28 Maret 2016 tercatat sebanyak 3.795 karyawan. Hal itu berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
PHK paling banyak terjadi di sektor pertanian dan perikanan mencapai 1.172 pekerja. Apa kata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)?
Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan KKP, Nasfri Adisyahmeta Yusar menilai data PHK yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) khususnya untuk sektor perikanan tidak sepenuhnya benar karena beberapa alasan.
"Itu informasi (PHK) tidak sepenuhnya benar," ujarnya, Jakarta, Senin (25/4/2016).
Nasfri menjelaskan, sebelum aturan moratorium izin kapal tangkap ikan eks asing terbit, investor asing yang ingin masuk ke bisnis ini di Indonesia harus menggandeng pengusaha perikanan tangkap lokal. Bekerjasama pula dengan Unit Pengolahan Ikan Lokal.
Dari catatannya, sebanyak 1.200 kapal ikan eks asing dalam pengoperasiannya di laut Indonesia berbuat culas dengan menduplikasi atau cetak ulang 5-10 izin dari seharusnya hanya 1 izin.
Akibatnya diperkirakan 10 ribu kapal eks asing beroperasi menangkap ikan di perairan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun.
"Tapi ternyata kamuflase investor asing itu tidak bermitra dengan pengusaha penangkapan ikan lokal," ucap Nasfri.
Dia memberi gambaran modus pengusaha penangkapan ikan asing selama puluhan tahun mengelabui bangsa ini.
Sebagai contoh, pengusaha Thailand bermitra dengan pengusaha penangkapan ikan lokal si A. Kemudian si pengusaha Thailand ini membeli kapal-kapal si A, lalu si A membuatkan Izin Usaha Perikanan (IUP) fiktif misalnya di Sulawesi Utara.
Dengan IUP tersebut, sambung Nasfri, si pengusaha Thailand bebas menangkap ikan di perairan Indonesia dengan kapalnya sendiri dengan izin yang sudah diatur si A dari Kementerian Perhubungan, KKP, dan pihak terkait lainnya.
Kepada pengusaha lokal si A, pengusaha Thailand memberikan uang US$ 10 ribu-US$ 20 ribu per kapal untuk membuat sebuah dokumen atau izin palsu demi kelancaran operasi ilegalnya di Indonesia.
"Jadi ini praktiknya penuh pelanggaran, dan perusahaan-perusahaan tersebut fiktif alias bodong, termasuk IUP-nya. Mereka dapat uang banyak tapi tidak kerja, boro-boro kerja sama atau menyerap tenaga kerja kita," ujar Nasfri.
Dengan kata lain, Nasfri menegaskan, meskipun saat ini ada moratorium izin operasi kapal eks asing, dampaknya terhadap PHK di sektor perikanan tidak berpengaruh apapun.
Dalam IUP, perusahaan tersebut ada pula yang memalsukan informasi menggunakan tenaga kerja Indonesia, walaupun pada kenyataannya tidak ada.
"Kalaupun perusahaan itu tutup tidak ada dampaknya seperti PHK tenaga kerja kita, wong itu fiktif, palsu, bodong kok, tidak pakai tenaga kerja lokal. Mereka transhipment di laut, pakai tenaga kerja asing dan hasil tangkapan di bawa ke negaranya," tutur dia.
Ke depan, Nasfri mengatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan mendorong kerja sama investasi asing di bidang pengolahan ikan (hilirisasi). Sementara kegiatan penanaman modal di bisnis penangkapan ikan semakin diperketat.
"Nah di pengolahan ikan boleh deh investasi asing masuk. Dengan begitu, akan sungguh-sungguh menyerap tenaga kerja dan berdirinya perusahaan pengolahan ikan yang tidak fiktif. Bisnis pengolahan ikan sudah mulai berjalan, dan mulai banyak tenaga kerja yang diserap. Hasilnya bisa terlihat dalam 2 tahun mendatang," terangnya.
Di sisi lain, Nasfri justru menduga PHK marak terjadi di sektor pertanian dari jumlah tenaga kerja yang dirumahkan 1.172 pekerja merujuk pada data Kemenaker.
"Bisa jadi di pertanian yang banyak PHK. Lihat saja buah-buahan, singkong impor semua. Bagaimana petani dan perusahaan pengolahan di sini bisa berkembang. Yang ada mati semua karena impor," pungkas Nasfri.(tim)
PHK paling banyak terjadi di sektor pertanian dan perikanan mencapai 1.172 pekerja. Apa kata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)?
Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan KKP, Nasfri Adisyahmeta Yusar menilai data PHK yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) khususnya untuk sektor perikanan tidak sepenuhnya benar karena beberapa alasan.
"Itu informasi (PHK) tidak sepenuhnya benar," ujarnya, Jakarta, Senin (25/4/2016).
Nasfri menjelaskan, sebelum aturan moratorium izin kapal tangkap ikan eks asing terbit, investor asing yang ingin masuk ke bisnis ini di Indonesia harus menggandeng pengusaha perikanan tangkap lokal. Bekerjasama pula dengan Unit Pengolahan Ikan Lokal.
Dari catatannya, sebanyak 1.200 kapal ikan eks asing dalam pengoperasiannya di laut Indonesia berbuat culas dengan menduplikasi atau cetak ulang 5-10 izin dari seharusnya hanya 1 izin.
Akibatnya diperkirakan 10 ribu kapal eks asing beroperasi menangkap ikan di perairan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun.
"Tapi ternyata kamuflase investor asing itu tidak bermitra dengan pengusaha penangkapan ikan lokal," ucap Nasfri.
Dia memberi gambaran modus pengusaha penangkapan ikan asing selama puluhan tahun mengelabui bangsa ini.
Sebagai contoh, pengusaha Thailand bermitra dengan pengusaha penangkapan ikan lokal si A. Kemudian si pengusaha Thailand ini membeli kapal-kapal si A, lalu si A membuatkan Izin Usaha Perikanan (IUP) fiktif misalnya di Sulawesi Utara.
Dengan IUP tersebut, sambung Nasfri, si pengusaha Thailand bebas menangkap ikan di perairan Indonesia dengan kapalnya sendiri dengan izin yang sudah diatur si A dari Kementerian Perhubungan, KKP, dan pihak terkait lainnya.
Kepada pengusaha lokal si A, pengusaha Thailand memberikan uang US$ 10 ribu-US$ 20 ribu per kapal untuk membuat sebuah dokumen atau izin palsu demi kelancaran operasi ilegalnya di Indonesia.
"Jadi ini praktiknya penuh pelanggaran, dan perusahaan-perusahaan tersebut fiktif alias bodong, termasuk IUP-nya. Mereka dapat uang banyak tapi tidak kerja, boro-boro kerja sama atau menyerap tenaga kerja kita," ujar Nasfri.
Dengan kata lain, Nasfri menegaskan, meskipun saat ini ada moratorium izin operasi kapal eks asing, dampaknya terhadap PHK di sektor perikanan tidak berpengaruh apapun.
Dalam IUP, perusahaan tersebut ada pula yang memalsukan informasi menggunakan tenaga kerja Indonesia, walaupun pada kenyataannya tidak ada.
"Kalaupun perusahaan itu tutup tidak ada dampaknya seperti PHK tenaga kerja kita, wong itu fiktif, palsu, bodong kok, tidak pakai tenaga kerja lokal. Mereka transhipment di laut, pakai tenaga kerja asing dan hasil tangkapan di bawa ke negaranya," tutur dia.
Ke depan, Nasfri mengatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan mendorong kerja sama investasi asing di bidang pengolahan ikan (hilirisasi). Sementara kegiatan penanaman modal di bisnis penangkapan ikan semakin diperketat.
"Nah di pengolahan ikan boleh deh investasi asing masuk. Dengan begitu, akan sungguh-sungguh menyerap tenaga kerja dan berdirinya perusahaan pengolahan ikan yang tidak fiktif. Bisnis pengolahan ikan sudah mulai berjalan, dan mulai banyak tenaga kerja yang diserap. Hasilnya bisa terlihat dalam 2 tahun mendatang," terangnya.
Di sisi lain, Nasfri justru menduga PHK marak terjadi di sektor pertanian dari jumlah tenaga kerja yang dirumahkan 1.172 pekerja merujuk pada data Kemenaker.
"Bisa jadi di pertanian yang banyak PHK. Lihat saja buah-buahan, singkong impor semua. Bagaimana petani dan perusahaan pengolahan di sini bisa berkembang. Yang ada mati semua karena impor," pungkas Nasfri.(tim)